Monday, April 22, 2013

Penuh Warna Dakwah Fakultas

oleh Andaria

Dakwah kampus merupakan jalan yang penuh dengan limpahan pahala dan rahmat Allah. Oleh karena penuh dengan pahala dan rahmat, maka jalan mulia ini penuh dengan hambatan dan rintangan. Tabiat dakwah itu berat, terjal dan penuh liku serta membutuhkan waktu yang lama. Tabiat yang secara materi tidak akan mendapatkan keuntungan yang melimpah. Maka dari itu, pengusungnya sangat sedikit. Jika ada yang bertanya mengapa dakwah sangat susah, jawabannya adalah karena surga itu sangat indah.

Sekarang, di sinilah aku berdiri. Dalam barisan ini, barisan dakwah Illahi. Dengan bangga aku menobatkan diri menjadi aktivis dakwah kampus. Bukan jalan yang mudah memang. Ketika mahasisiwa lain tidur nyenyak di rumah atau kost, aku harus pontang-panting menyebar pamflet seminar kemuslimahan atau syuro membahas proker yang harus terealisasi. Membagi waktu antara mengerjakan tugas kuliah dan amanah. Antara pulang kampung atau mengikuti sebuah dauroh di luar kota. Antara A dan B. Ini dan itu. Namun disinilah sebuah tantangan. Tantangan itulah yang membuatku jatuh cinta. Jatuh cinta pada dakwah.

Dakwah di fakultas juga bukan perkara yang mudah. Apalagi sebuah fakultas yang heterogen, mulai dari gaya hidup, fasion, perilaku sampai pemikiran. Fakultas yang bagi sebagian aktivis hanya dipandang sebelah mata karena sedikitnya kader. Tapi tidak mengapa bagiku. Inilah yang membedakan dengan fakultas lain. Jika di fakultas lain begitu mudah mendapatkan izin melakukan kegiatan dakwah, tidak bagi fakultasku. Untuk masalah perijinan saja sering mendapat kesulitan apalagi masalah kucuran dana dari dekanat.

Kalau ada yang mau tahu mengenai objek dakwah di fakultas, maka semua jenis model manusia ada. Dari yang akademis sampai sang organisatoris. Dari agamis sampai apatis. Mahasiswa gaul atau gelo. Mahasiswa yang lurus atau bengkok. Mahasiswa standar ada, yang alay lebih banyak. Semua tumpah ruah menjadi satu. Pun dengan karakter objek dakwah yang sangat sulit untuk disibghoh (dicelup) nilai Islam. Jika ada kajian Islam, yang datang seringkali hanya para pengurus yang memenuhi forum.

“Ketidaknormalan” dan “ketidaknyamanan” ini membuatku banyak belajar. Bahwa menjadi seorang aktivis bukan hanya bicara tentang bagaimana mengajak orang kepada kebaikan namun bagaimana ucapanmu mampu membekas di hatinya. Bukan aktivis yang pandai berdalil namun nol keteladanan. Bukan hanya aktivis yang pandai mengkonsep tetapi juga eksekutor yang top. Maka, kader dakwah yang dibutuhkan oleh fakultas adalah kader yang mampu menyesuaikan diri dengan objek dakwahnya. Fakultasku kader “super” dan solid.

Membuatku banyak belajar bahwasanya lahan dakwah itu tak selamanya adalah lahan subur. Seringkali akan kita temui lahan tandus nan kering dan fakultasku bukan lahan dakwah subur nan makmur. Ibarat tanah, fakultasku adalah tanah tandus tanpa sumber air kehidupan. Aktivis dakwah di fakultas bisa diasosiasikan dengan air yang memberikan warna kehidupan meskipun banyak yang tidak membutuhkan air untuk hidup dari kami.

Inspirasi dakwah tersebar luas di fakultas. Berdakwah dengan para akademis tentu berbeda dengan mahasiswa organisatoris. Seorang kader harus memposisikan diri di hadapan mereka. Mencebur dalam dunia mereka kemudian mempengaruhi mereka. Istilahnya, membaur namun tidak melebur, mewarnai dan bukan terwarnai.

Para kader terdahulu bahkan mengatakan bahwa fakultasku merupakan miniatur dari masyarakat luar kampus. Jika seorang aktivis dakwah mampu berdakwah di fakultasku, maka bisa dikatakan bahwa dia akan sukses berdakwah di fakultas lain. Begitulah dakwah, tak selamanya membutuhkan kader dengan militansi tinggi namun tidak mau keluar dari zona amannya.

Bagi kader yang beranggapan bahwa fakultasku adalah titik rawan bagi aktivitas dakwah, sejatinya dia bukan seorang aktivis dakwah sejati. Tidak ada kader yang memilih sendiri lahan garapannya, semua sudah ditentukan oleh Allah. Layaknya kita dilahirkan, kita tak bisa memilih ibu bapak kita. Jika fakultasku adalah fakultas penuh “kegelapan”, bukankah kita seharusnya menyalakan cahaya sebagai penunjuk jalan? Bukan malah mengutuk kegelapan itu. Jika fakultasku adalah lahan kering, tidak sukakah kita menjadi sumber air yang memberikan untuk kehidupan di dalamnya?

Related post



  • Stumble This
  • Fav This With Technorati
  • Add To Del.icio.us
  • Digg This
  • Add To Facebook
  • Add To Yahoo

0 comments:

Post a Comment