Dakwah kampus merupakan jalan yang penuh dengan limpahan
pahala dan rahmat Allah. Oleh karena penuh dengan pahala dan rahmat, maka jalan
mulia ini penuh dengan hambatan dan rintangan. Tabiat dakwah itu berat, terjal
dan penuh liku serta membutuhkan waktu yang lama. Tabiat yang secara materi
tidak akan mendapatkan keuntungan yang melimpah. Maka dari itu, pengusungnya
sangat sedikit. Jika ada yang bertanya mengapa dakwah sangat susah, jawabannya
adalah karena surga itu sangat indah.
Sekarang, di sinilah aku berdiri. Dalam barisan ini, barisan
dakwah Illahi. Dengan bangga aku menobatkan diri menjadi aktivis dakwah kampus.
Bukan jalan yang mudah memang. Ketika mahasisiwa lain tidur nyenyak di rumah
atau kost, aku harus pontang-panting menyebar pamflet seminar kemuslimahan atau
syuro membahas proker yang harus terealisasi. Membagi waktu antara mengerjakan
tugas kuliah dan amanah. Antara pulang kampung atau mengikuti sebuah dauroh di
luar kota. Antara A dan B. Ini dan itu. Namun disinilah sebuah tantangan.
Tantangan itulah yang membuatku jatuh cinta. Jatuh cinta pada dakwah.
Dakwah di fakultas juga bukan perkara yang mudah. Apalagi
sebuah fakultas yang heterogen, mulai dari gaya hidup, fasion, perilaku sampai pemikiran. Fakultas yang bagi sebagian
aktivis hanya dipandang sebelah mata karena sedikitnya kader. Tapi tidak
mengapa bagiku. Inilah yang membedakan dengan fakultas lain. Jika di fakultas
lain begitu mudah mendapatkan izin melakukan kegiatan dakwah, tidak bagi
fakultasku. Untuk masalah perijinan saja sering mendapat kesulitan apalagi
masalah kucuran dana dari dekanat.
Kalau ada yang mau tahu mengenai objek dakwah di fakultas,
maka semua jenis model manusia ada. Dari yang akademis sampai sang
organisatoris. Dari agamis sampai apatis. Mahasiswa gaul atau gelo. Mahasiswa
yang lurus atau bengkok. Mahasiswa standar ada, yang alay lebih banyak. Semua
tumpah ruah menjadi satu. Pun dengan karakter objek dakwah yang sangat sulit
untuk disibghoh (dicelup) nilai
Islam. Jika ada kajian Islam, yang datang seringkali hanya para pengurus yang
memenuhi forum.
“Ketidaknormalan” dan “ketidaknyamanan” ini membuatku banyak
belajar. Bahwa menjadi seorang aktivis bukan hanya bicara tentang bagaimana
mengajak orang kepada kebaikan namun bagaimana ucapanmu mampu membekas di
hatinya. Bukan aktivis yang pandai berdalil namun nol keteladanan. Bukan hanya
aktivis yang pandai mengkonsep tetapi juga eksekutor yang top. Maka, kader
dakwah yang dibutuhkan oleh fakultas adalah kader yang mampu menyesuaikan diri
dengan objek dakwahnya. Fakultasku kader “super” dan solid.
Membuatku banyak belajar bahwasanya lahan dakwah itu tak
selamanya adalah lahan subur. Seringkali akan kita temui lahan tandus nan
kering dan fakultasku bukan lahan dakwah subur nan makmur. Ibarat tanah,
fakultasku adalah tanah tandus tanpa sumber air kehidupan. Aktivis dakwah di
fakultas bisa diasosiasikan dengan air yang memberikan warna kehidupan meskipun
banyak yang tidak membutuhkan air untuk hidup dari kami.
Inspirasi dakwah tersebar luas di fakultas. Berdakwah dengan
para akademis tentu berbeda dengan mahasiswa organisatoris. Seorang kader harus
memposisikan diri di hadapan mereka. Mencebur dalam dunia mereka kemudian
mempengaruhi mereka. Istilahnya, membaur namun tidak melebur, mewarnai dan
bukan terwarnai.
Para kader terdahulu bahkan mengatakan bahwa fakultasku
merupakan miniatur dari masyarakat luar kampus. Jika seorang aktivis dakwah
mampu berdakwah di fakultasku, maka bisa dikatakan bahwa dia akan sukses
berdakwah di fakultas lain. Begitulah dakwah, tak selamanya membutuhkan kader
dengan militansi tinggi namun tidak mau keluar dari zona amannya.
Bagi kader yang beranggapan bahwa fakultasku adalah titik
rawan bagi aktivitas dakwah, sejatinya dia bukan seorang aktivis dakwah sejati.
Tidak ada kader yang memilih sendiri lahan garapannya, semua sudah ditentukan
oleh Allah. Layaknya kita dilahirkan, kita tak bisa memilih ibu bapak kita.
Jika fakultasku adalah fakultas penuh “kegelapan”, bukankah kita seharusnya
menyalakan cahaya sebagai penunjuk jalan? Bukan malah mengutuk kegelapan itu.
Jika fakultasku adalah lahan kering, tidak sukakah kita menjadi sumber air yang
memberikan untuk kehidupan di dalamnya?
0 comments:
Post a Comment