SAAT menyaksikan ANZAC parade pada tanggal 25 April 2011 di depan War Memorial, Canberra, saya mendapati demonstrasi yang dilakukan oleh puluhan kaum Aborigin. Mengusung tema “healing spirit” mereka memprotes penindasan oleh bangsa Eropa yang terjadi dimasa lampau, dengan membentangkan tulisan-tulisan protes serta membagi-bagikan stiker bergambar benua Australia bercorak bendera Aborigin. Di antara puluhan demonstran, baik Aborigin maupun orang Eropa pendukungnya, tiba-tiba seorang demonstran seperti blasteran Aborigin-Eropa tersenyum dan menunjukkan kafiyeh di lehernya kepada istri saya (berjilbab), seolah ingin memberikan sebuah isyarat.
Dengan kalung kafiyeh itu ia cukup menonjol di antara para pemrotes tersebut. Saya tidak bisa memastikan apakah ia seorang Muslim atau bukan. Yang pasti senyumannya itu ingin menunjukkan rasa kesedihan yang dialami oleh orang-orang Palestina.
Sebagai seorang Aborigin, ia seperti mengidentikkan dirinya dengan orang-orang yang diusir dari tanah airnya dan tercerabut dari sumber-sumber kehidupannya oleh rezim apartheid, Zionis Israel.
Di tengah cemoohan beberapa penonton parade yang khidmad memperingati kekalahan tentara Australia di Gallipoli Turki, ia mencoba menyampaikan perasaannya ketertindasan yang dirasakan.
Tentang berbagai insiden pembunuhan serta stolen generation (upaya memberadabkan suku-suku Aborigin dengan mengambil paksa anak-anak mereka untuk dididik secara Eropa) yang sempat dirasakan oleh orangtua mereka. Melihat kami Muslim, demonstran Aborigin itu melempar senyum getirnya yang bisa kami terjemahkan; solidaritas!.
Di Australia, Aborigin Muslim adalah komunitas yang berkembang dengan pesat. Jumlahnya sulit diketahui secara pasti, namun perkiraan konservatif berjumlah lebih dari 1000 orang (hasil sensus tahun 2006), meningkat sebesar 60% dari hasil sensus 1996 yang berjumlah sekitar 600 orang. Jumlah Muslim Aborigin di tahun 2011 ini diperkirakan terus meningkat, dari keseluruhan suku Aborigin yang berjumlah 517 ribu orang pada tahun 2006 yang tersebar di seluruh Australia.
Mengenal Islam
Kontak pertama mereka dengan Muslim adalah saat mereka bertemu dengan para pencari teripang orang-orang Makassar dan Bugis yang singgah di Australia Utara setiap bulan Desember dari periode 1700-an sampai 1907. Sejarah selanjutnya terkait dengan para Muslim penunggang unta Afhanistan (dari Rajastan dan Baluchistan) antara 1860 sampai 1890 yang didatangkan oleh kolonial Eropa untuk membantu menembus isolasi gurun pasir Australia mengirimkan bahan makanan serta pembangunan rel kereta api waktu itu.
Kaum Muslim Afghanistan tersebut sempat membangun masjidnya, disamping ada pula yang menikah dengan penduduk asli Aborigin seperti kakek buyut Muslim keturunan Aborigin bernama Shahzad dalam sebuah program televisi multikultural SBS.
Sepeniggal buyutnya kakek Shahzad sempat kembali ke Baluchistan dengan keluarganya, hal yang diakuinya menjaga keIslaman mereka sampai kembali lagi ke Australia. Selain itu, orang-orang Aborigin dari berbagai suku mengenal Islam dari komunitas-komunitas Muslim imigran yang datang ke Australia dalam tahun-tahun terakhir.
Perasaan ketertindasan sejarah adalah salah satu alasan mengapa aborigin dengan nama Muslim Khaled memasuki Islam yang ia kenal saat di dalam penjara. Sementara Justin yang masuk Islam saat menempuh kuliah di jurusan ilmu Hukum merasa dalam Islam ia mendapatkan perasaan merdeka dan terputus dari beban sejarah kelam komunitasnya. Ia sekarang merasakan lebih kuat dan mampu meredam kemarahan serta menjadi manusia seutuhnya, sama seperti manusia lainnya.
Berbondong-bondongnya Aborigin menjadi mualaf setelah mengenal ajaran Islam ibarat sebuah protes karena menurut mereka mengikuti agama orang Eropa seperti menyetujui penindasan di masa lampau. Namun, kemusliman mereka itu juga bukanlah sebuah pelarian semata, karena kadang-kadang mereka lebih mempraktekkan Islam daripada para Muslim imigran yang datang ke Australia karena alasan ekonomi. Setelah memeluk Islam, mereka bisa melepaskan diri dari alkoholisme dan obat-obatan terlarang, penyakit yang parah melanda suku asli Australia itu.
Lebih lanjut, seperti disampaikan Solomon yang mengenal Islam dari rekan kerjanya, nilai-nilai Islam ia rasakan lebih kompatibel dengan adat-istiadat mereka yang cenderung menghargai komunalitas dan saling menjaga. Penghormatan kepada orang yang lebih tua juga mereka rasakan sama dengan nilai-nilai tradisional mereka. Hal tersebut berbeda dengan nilai-nilai bangsa Eropa yang cenderung individualistis, egaliter namun kurang menghargai orang tua dan kebiasaan mandiri sejak dianggap telah dewasa.
Perkembangan Islam yang cepat diantara kaum Aborigin Australia adalah sebuah kenyataan yang mengejutkan, dimana agama Kristen adalah mayoritas meski prosentasenya terus menurun dari tahun ke-tahun ditengah semakin banyaknya orang atheis dan agnostic. Hal serupa juga terjadi pada Muslim Indian Amerika Latin yang masuk Islam sebagai “protes” atas sejarah kelam mereka yang pada abad ke-16 dipaksa masuk agama Katolik oleh penjajah Spanyol. Mereka bertemu kelompok-kelompok kecil Muslim Spanyol (Murabitun) yang melarikan diri ke Benua Latin itu dari sisa-sisa kekhalifahan Spanyol karena menghindari inquisisi kaum Katholik.
Mirip pula yang dirasakan orang-orang Negro Muslim Afrika yang ratusan tahun didatangkan sebagai budak di Amerika Serikat sampai awal abad ke-20. Beberapa keturunan mereka berupaya mencari akar kemusliman nenek moyang mereka yang telah terkikis, seperti termanifestasi dalam gerakan Nation of Islam. Hal yang juga dirasakan seorang Aborigin juara tinju yang menjadi mualaf bernama Antony Mundane yang mengenal Islam dari tulisan-tulisan Malcom X.
Muslim Aborigin yang terus berkembang jumlahnya adalah sebentuk protes atas penindasan bernuansa rasis di masa lampau, meskipun pemerintah Australia terus melakukan banyak upaya untuk mendorong integrasi, multikulturalisme dan pemberdayaan kepada mereka. Di sisi lain, semakin berkembangnya pula mualaf bangsa Eropa di Australia dimana Islam yang terus tumbuh mungkin akan menjadi healing spirit bagi Australia dimasa depan.*/Abu Alfath,tinggal di Canberra. sumber
0 comments:
Post a Comment