Tuesday, March 20, 2012

Habluminallah dan Habluminannas

Salah satu istilah yang sering salah dimengerti orang tentang kedudukan hukum-hukum Allah yang ditetapkan-Nya bagi manusia adalah tentang dikotomi ‘hablumminallah’ dan ‘hablumminannas’, bahwa ketika mereka menyebut ‘hablumminallah’ itu berarti suatu perbuatan yang semata-mata berhubungan dengan peribadatan kepada Allah berupa shalat, puasa dan haji, sebaliknya kalau menyangkut ‘hablumminannas’ artinya suatu perbuatan yang terkait dengan sesama manusia, misalnya soal berbuat baik, hukum pidana dan perdata, aturan kesopanan berpakaian dan bertingkah-laku, hidup bertetangga, sampai kepada aturan bernegara dan bermasyarakat secara umum
Salah kaprah berikutnya soal kedua istilah ini adalah, tata-cara ‘hablumminallah’ sudah diatur secara baku dan tidak boleh dirobah baik bentuknya maupun waktunya, misalnya aturan shalat wajib 5 kali sehari semalam dengan rakaat yang tetap dan waktu yang tetap, puasa wajib harus di bulan ramadhan mulai dari terbit fajar sampai matahari terbenam. Sebaliknya urusan ‘hablumminannas’ merupakan tata-cara yang terkait tempat dan konteksnya, termasuk harus berpedoman kepada budaya setempat. Maka tata-cara hidup bertetangga di Arab berbeda dengan di Indonesia, bahkan ada yang berani menafsirkan aturan hukum pidana dan perdatanya juga bisa berubah-ubah sesuai nilai-nilai yang dianut pada tempat dan waktu tertentu. Lalu diambil kesimpulan hukuman potong tangan bagi si pencuri atau qishash untuk si pembunuh hanya sesuai diterapkan pada konteks jaman dahulu, sedangkan saat sekarang yang sudah menganut nilai-nilai HAM, aturan tersebut sudah tidak tepat diberlakukan. Memakai jilbab merupakan cara yang cocok dipakai dijaman Arab jahiliyah karena kedudukan wanita yang rentan dengan bahaya hegomoni kaum laki-laki, sedangkan jaman sekarang tidak diperlukan lagi karena adanya paham kesetaraan gender.

Pemahaman ini kemudian menjadi ‘bola liar’ dalam menafsirkan hukum-hukum Allah yang kebetulan tercantum jelas dalam Al-Qur’an. Faktanya ayat Al-Qur’an memang memuat – dengan bahasa yang jelas – bahwa hukuman buat si pencuri adalah potong tangan [QS 5:38], atau bagi si pembunuh harus dihukum mati [QS 2:178], aturan waris yang membedakan porsi laki-laki 2 kali bagian wanita [QS 4:11] kewajiban memakai jilbab bagi kaum wanita [QS 33:59]. Mau diputar balik pakai cara apapun, aturan tersebut memang sudah tercantum dengan jelas disana, bahwa ketika Allah bicara soal pembagian waris bagi laki-laki 2 kali bagian wanita, kita tidak bisa merubahnya menjadi porsi yang lain selain 2 banding 1, ketika Allah memerintahkan kaum wanita untuk memakai jilbab, tidak bisa tafsirannya lalu kita buat boleh memakai pakaian model apapun ‘asal sesuai dengan norma kesopanan setempat’, maka orang-orang lalu berdebat 7 hari 7 malam untuk menentukan batas tentang ‘norma kesopanan’ tersebut, itupun tanpa menghasilkan kesepakatan apa-apa.

Dalam kaitan tentang istilah ‘hablumminallah’ dan ‘hablumminannas’ , kita menemukan satu ayat Al-Qur’an yang menyinggung soal ini, ketika Allah bicara tentang ahli kitab yang ingkar :

dhuribat ‘alayhimuzhillah aynama thuqifu illa biHABLIMMINALLAH waHABLIMMINANNAS

QS 3:112 – Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia,

Ternyata ketika Al-Qur’an menyebut tentang ‘hablumminallah’ dan ‘hablumminannas’ konteksnya adalah soal ‘aturan’, bahwa Allah membedakan antara aturan yang ditetapkan Allah dengan aturan hasil kesepakatan manusia, dan untuk kedua hal tersebut digambarkan adanya konsekuensi, ketika kita melanggar baik aturan Allah maupun aturan hasil kesepakatan manusia tersebut, maka kita akan diliputi kehinaan. Dalam hal ini kedudukan ‘hablumminallah’ dan ‘hablumminannas’ adalah sama dan setara. Al-Qur’an tidak pernah membagi hukum-hukum berdasarkan objek atau subjeknya, membedakan hubungan antara manusia dengan Allah (ibadah) dan hubungan antar sesama manusia (muamalah), apalagi dengan menyebut adanya konsekuensi yang berbeda ketika kita melakukan pelanggaran. Pembedaan ditetapkan Allah berdasarkan ‘darimana hukum tersebut dihasilkan’, apakah dari Allah, atau dari hasil perjanjian sesama manusia.

Jadi kalau kita menemukan ayat Al-Qur’an yang menetapkan soal aturan waris, bahkan disampaikan detail dengan angka-angka dan kondisinya, maka itu adalah ‘hablumminallah’ – berasal dari Allah – sekalipun kesannya menyangkut hubungan antara sesama manusia, ketika Allah menyatakan si pencuri harus dipotong tangan, maka itu adalah ‘hablumminallah’ sekalipun menyangkut hukum pidana yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain. Bahkan Allah memberikan penegasan terhadap kepatuhan kita untuk mematuhi hukum-hukum tersebut, misalnya ketika Dia menetapkan hukum waris :

QS 4:12 – (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.

Berdasarkan klasifikasi dari Allah tersebut juga, maka kita bisa mengambil kesimpulan aturan yang tidak ada ketetapannya dalam Al-Qur’an dan hadits, maka itu bisa dikategorikan ‘hablumminannas’, namun dengan konsekuensi yang sama dengan ‘hablumminallah’, kalau kita melakukan pelanggaran. Al-Qur’an tidak memuat aturan soal bentuk negara atau pemerintahan sekalipun pada waktu Al-Qur’an diturunkan sudah ada contoh bentuk pemerintahan tersebut yang diwakili oleh Bizantium dan Persia. Apakah mau berbentuk kerajaan atau demokrasi, berbentuk presidensial atau parlementer, maka soal bentuk negara atau pemerintahan diserahkan kepada kesepakatan manusia. Dalam menetapkan bentuk negara/pemerintahan Islam hanya memberikan ‘nilai-nilai’ yang harus diaplikasikan bahwa apapun bentuknya, negara atau pemerintahan tersebut haruslah didasari dengan nilai keadilan [QS 4:58] dan musyawarah [QS 3:159]. Maka ketika suatu sistem pemerintahan atau negara membuka peluang untuk menghasilkan kezaliman, misalnya adanya kesempatan mayoritas maling mengangkat ‘raja maling’ sebagai pemimpin, atau hasil keputusan ditetapkan dengan hanya melindungi kepentingan segelintir orang, mau berbentuk kerajaan ataupun demokrasi, tertolak oleh ajaran Islam karena menganut nilai-nilai yang bertentangan.

Al-Qur’an juga tidak memuat aturan tata ruang/tata kota misalnya, padahal ketika ayat Al-Qur’an diturunkan, Makah dan Madinah sudah eksis sebagai suatu kota. Maka aturan tata kota termasuk kategori ‘hablumminannas’ karena ditetapkan atas dasar kesepakatan sesama manusia. Ajaran Islam hanya memberikan ‘nilai-nilai’ untuk dijadikan dasar, misalnya dengan adanya hadits yang mengatur hubungan bertetangga.

Maka aneh kedengarannya kalau ada segelintir orang yang mengaku pemeluk Islam, berdasarkan hawa nafsunya, memilah-milah aturan-aturan Allah yang jelas tercantum dalam Al-Qur’an, mana yang bisa diterapkan dan mana yang tidak perlu lagi diikuti karena dianggap ‘sudah kadaluwarsa’, tidak sesuai konteks jaman. Lebih celakanya lagi penolakan tersebut didasari nilai-nilai yang ditetapkan manusia dan bersifat situasional seperti nilai-nilai HAM, kesetaraan gender, dll. Ini ibarat seseorang yang mau mencocokkan kopiah dengan kepala. Seharusnya kita memilih mana ukuran kopiah yang sesuai dengan ukuran kepala kita, bukan sebaliknya, malah ‘mengatur’ besar-kecilnya kepala kita agar sesuai ukuran kopiah yang kita inginkan. Ketika Allah menetapkan hukum-hukum-Nya, bahkan sampai memberikan penjelasan secara detail, itu tentunya Dia ciptakan berdasarkan ilmu-Nya yang tidak akan terjangkau dengan kemampuan pikiran dan pemahaman kita. Seharusnya akal pikiran kita ketika berhadapan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah tersebut, berusaha mencari jalan agar aturan itu bisa diaplikasikan, bukan sebaliknya malah dipakai dengan tujuan agar tidak bisa dilaksanakan, hanya karena adanya nilai-nilai relatif yang diciptakan manusia.

Islam juga tidak memposisikan ‘hablumminannas’ sebagai sesuatu yang terpisah dengan ‘hablumminallah’, tapi lebih berfungsi subordinatif, ibaratnya kedudukan Undang-undang Dasar dengan semua peraturan pelaksanaan yang ada dibawahnya. Sepanjang aturan hasil kesepakatan antar sesama manusia tersebut sejalan dengan nilai-nilai yang telah ditetapkan Islam, maka kedudukan aturan tersebut sama dengan aturan yang datang dari Allah. Aturan lalu-lintas dibuat manusia untuk memberikan keadilan kepada pemakai jalan, maka ketika seseorang melanggar lampu merah atau ngetem sembarangan, maka artinya dia sudah berbuat zalim kepada pemakai jalan yang lain, otomatis konsekuensinya dia juga telah melanggar aturan Allah. Ketika aturan di kantor dibuat dengan dasar keadilan dan pelaksanaan tanggung-jawab bagi semua karyawan, maka pelanggaran dan ketidak-disiplinan seseorang terhadap aturan tersebut bernilai sebagai pelanggaran terhadap aturan Allah karena bisa dikategorikan telah berbuat zalim terhadap pihak lain.

Sebaliknya, sepanjang aturan hasil kesepakatan antar manusia mengusung nilai-nilai yang ditetapkan Allah, maka menjalaninya merupakan ibadah bagi seorang Muslim, jadi raja atau presiden adalah ibadah, jadi anggota DPR, Gubernur, Walikota sampai Camat adalah ibadah, jadi guru, karyawan, pengusaha juga merupakan ibadah, mentaati aturan lalu-lintas adalah perbuatan ibadah, patuh dan disiplin di kantor juga perbuatan ibadah, antri karcis adalah ibadah, taat terhadap aturan RT/RW juga ibadah…

Related post



  • Stumble This
  • Fav This With Technorati
  • Add To Del.icio.us
  • Digg This
  • Add To Facebook
  • Add To Yahoo

2 comments:

Anonymous said...

barakallahufikum... sy alumni ski fssr uns juga.. sukses terus syiar islamnya

poris said...

sip

Post a Comment