Oleh : Nisa Asy-Syifa
(Pemenang Lomba Mading ESR)
Bakda sholat Isya malam ini terasa lebih indah. Langit
begitu anggun dengan hiasan bintang. Seolah ingin menyampaikan isyarat lafadz
tasbih, takbir dan tahmid atas segala keagungan sang pencipta semesta yang
bertahta dalam singgasana arsy. Ayah sedang menata dagangan sisa jualan di
pasar tadi pagi. Kedua adikku yang tengah duduk di TK dan kelas 3 SD tengah bermain di ruang
tamu. Sedang aku sendiri masih termenung memandang kalender mini yang bersandar
di dinding kamarku. Malam ini adalah malam pertama bulan romadhon di tahun ini.
Esok hari semua umat muslim wajib menunaikan puasa. Malam ini juga tepat empat
bulan yang lalu Ibu memenuhi panggilan sang Khaliq. Allah lebih menyayangi
beliau melalui penyakit radang paru-paru. Inilah bulan romadhon pertama yang
dilalui oleh keluargaku tanpa kehadiran Ibu. Rumah ini pun terasa begitu dingin
tanpa kehangatan senyum dan teh manis nan hangat yang selalu tersaji di meja
menemani belajarku, adik-adik serta Ayah. Saat malam hari di bulan romadhon
seperti ini, setelah sholat Isya, Ibu sibuk didapur menyiapkan bahan makanan
yang akan di masak esok hari untuk makan sahur keluarga. Namun, malam ini dapur
pun terasa hampa, tiada lagi harumnya adonan tepung ketan yang di pan, karena
Ibu tahu adik-adiku sangat susah jika makan sahur langsung makan nasi, maka
dengan segala kelihaiannya beliau membuatkan kue-kue yang bisa mengawali makan
sahur keluarga. Allah, betapa kerinduan mengelayuti hati ini akan kehadiran
sosok wanita itu. Jadikan ia bidadari surga-Mu dan pertemukan keluarga kami kembali
di jannah-Mu kelak. Lambat laun ingataku tentang Ibu mulai terasa samar.
Kepalaku mulai terkulai di meja belajar. Rasa kantuk yang begitu nyaman mulai
membawaku ke alam bawah sadar.
Saat aku mulai kembali sadar, kukejap-kejapkan mataku.
Pendengaranku mulai mengawali aliran respon ke seluruh saraf otak. Lantunan
ayat suci Al-Qur’an terdengar dari masjid yang jaraknya 100
meter dari rumah. Segera kulihat jam. Allahu Akbar! Pukul empat lebih lima
menit. Dengan segera kubangunkan Ayah dan adik-adik. Syukur nasi kemarin sore
ternyata masih sisa, cukup untuk makan sahur. Telur ceplok dengan bumbu garam
dapur cukuplah untuk menemani nasi putih yang dingin. Ayah membuat teh hangat.
Meski airnya dari termos dan tidak begitu panas karena tidak ada waktu lagi
untuk merebus air, tapi bisalah untuk melarutkan gula sehingga airnya terasa
manis. Nasi, telur ceplok, dan teh hangat telah siap di meja. Namun, adikku
yang paling bungsu hanya diam memandangi meja makan tanpa sepatah katapun.
“Dik, ayo segera makan sahur, apa perlu mas Hamdan
ambilkan. Nanti kalau tidak segera makan keburu adzan subuh loh.”
“Mas, kok sahur kita tidak seperti dulu lagi ya. Andai Ibu
masih menemani kita, belum menjadi bidadarinya Allah, pasti sahur kita tidak seperti
ini. Mas, Allah pasti sangat senang ya, saat ini ditemani oleh Ibu.
Air mata yang siap mengalir di pelupuk mataku tidak dapat
terbendung lagi. Meski selama ini aku selalu ingin terlihat tegar dan berusaha
untuk tidak menangis di hadapan Ayah dan adik-adik saat Ibu telah tiada, namun
kata-kata polos dari adik bungsuku telah membuncahkan kerinduanku kepada Ibu.
Aku selalu mengatakan bahwa Ibu sekarang telah menjadi bidadari Allah kepada
adik bungsuku, saat ia mulai merenggek ingin bertemu Ibu. Ia masih kecil,
begitu polos, dan belum mengerti apa hakikat kematian. Aku peluk adik bungsuku
erat-erat. Ayah, kulihat tampak tertunduk mencoba menyembunyikan air matanya
meski bagiku itu sia-sia. Inilah romadhon pertamaku tanpa Ibu. Allah, di bulan
mulia ini kukirimkan doa terindah untuknya. Di bulan romadhon pertama tanpa
kehadirannya ini pula, jadikan aku dan adik-adik sebagai simpanan amalan sholeh
untuknya.
0 comments:
Post a Comment