Tuesday, August 06, 2013

Romadhon Tanpa Bidadari

Oleh : Nisa Asy-Syifa
(Pemenang Lomba Mading ESR)

Bakda sholat Isya malam ini terasa lebih indah. Langit begitu anggun dengan hiasan bintang. Seolah ingin menyampaikan isyarat lafadz tasbih, takbir dan tahmid atas segala keagungan sang pencipta semesta yang bertahta dalam singgasana arsy. Ayah sedang menata dagangan sisa jualan di pasar tadi pagi. Kedua adikku yang tengah duduk di  TK dan kelas 3 SD tengah bermain di ruang tamu. Sedang aku sendiri masih termenung memandang kalender mini yang bersandar di dinding kamarku. Malam ini adalah malam pertama bulan romadhon di tahun ini. Esok hari semua umat muslim wajib menunaikan puasa. Malam ini juga tepat empat bulan yang lalu Ibu memenuhi panggilan sang Khaliq. Allah lebih menyayangi beliau melalui penyakit radang paru-paru. Inilah bulan romadhon pertama yang dilalui oleh keluargaku tanpa kehadiran Ibu. Rumah ini pun terasa begitu dingin tanpa kehangatan senyum dan teh manis nan hangat yang selalu tersaji di meja menemani belajarku, adik-adik serta Ayah. Saat malam hari di bulan romadhon seperti ini, setelah sholat Isya, Ibu sibuk didapur menyiapkan bahan makanan yang akan di masak esok hari untuk makan sahur keluarga. Namun, malam ini dapur pun terasa hampa, tiada lagi harumnya adonan tepung ketan yang di pan, karena Ibu tahu adik-adiku sangat susah jika makan sahur langsung makan nasi, maka dengan segala kelihaiannya beliau membuatkan kue-kue yang bisa mengawali makan sahur keluarga. Allah, betapa kerinduan mengelayuti hati ini akan kehadiran sosok wanita itu. Jadikan ia bidadari surga-Mu dan pertemukan keluarga kami kembali di jannah-Mu kelak. Lambat laun ingataku tentang Ibu mulai terasa samar. Kepalaku mulai terkulai di meja belajar. Rasa kantuk yang begitu nyaman mulai membawaku ke alam bawah sadar.
            Saat aku  mulai kembali sadar, kukejap-kejapkan mataku. Pendengaranku mulai mengawali aliran respon ke seluruh saraf otak. Lantunan ayat suci Al-Qur’an terdengar dari masjid yang jaraknya 100 meter dari rumah. Segera kulihat jam. Allahu Akbar! Pukul empat lebih lima menit. Dengan segera kubangunkan Ayah dan adik-adik. Syukur nasi kemarin sore ternyata masih sisa, cukup untuk makan sahur. Telur ceplok dengan bumbu garam dapur cukuplah untuk menemani nasi putih yang dingin. Ayah membuat teh hangat. Meski airnya dari termos dan tidak begitu panas karena tidak ada waktu lagi untuk merebus air, tapi bisalah untuk melarutkan gula sehingga airnya terasa manis. Nasi, telur ceplok, dan teh hangat telah siap di meja. Namun, adikku yang paling bungsu hanya diam memandangi meja makan tanpa sepatah katapun.
“Dik, ayo segera makan sahur, apa perlu mas Hamdan ambilkan. Nanti kalau tidak segera makan keburu adzan subuh loh.”
“Mas, kok sahur kita tidak seperti dulu lagi ya. Andai Ibu masih menemani kita, belum menjadi bidadarinya Allah, pasti sahur kita tidak seperti ini. Mas, Allah pasti sangat senang ya, saat ini ditemani oleh Ibu.

Air mata yang siap mengalir di pelupuk mataku tidak dapat terbendung lagi. Meski selama ini aku selalu ingin terlihat tegar dan berusaha untuk tidak menangis di hadapan Ayah dan adik-adik saat Ibu telah tiada, namun kata-kata polos dari adik bungsuku telah membuncahkan kerinduanku kepada Ibu. Aku selalu mengatakan bahwa Ibu sekarang telah menjadi bidadari Allah kepada adik bungsuku, saat ia mulai merenggek ingin bertemu Ibu. Ia masih kecil, begitu polos, dan belum mengerti apa hakikat kematian. Aku peluk adik bungsuku erat-erat. Ayah, kulihat tampak tertunduk mencoba menyembunyikan air matanya meski bagiku itu sia-sia. Inilah romadhon pertamaku tanpa Ibu. Allah, di bulan mulia ini kukirimkan doa terindah untuknya. Di bulan romadhon pertama tanpa kehadirannya ini pula, jadikan aku dan adik-adik sebagai simpanan amalan sholeh untuknya. 

Related post



  • Stumble This
  • Fav This With Technorati
  • Add To Del.icio.us
  • Digg This
  • Add To Facebook
  • Add To Yahoo

0 comments:

Post a Comment