Monday, November 10, 2008

Sa’ad bin Abi Waqqash Pahlawan Umat Islam

0 comments
Sa’ad bin Abi Waqqash adalah sebuah nama yang sering kali disebut oleh umat islam, baik masa lalu maupun masa kini. Dialah orang yang pertama kali disiksa karena keislamannya, muslim pertama yang melemparkan panahnya demi berjuang di jalan Allah, pahlawan Islam yang menghancurkan kerajaan persia, dan dialah salah seorang dari sepuluh orang yang langsung masuk syurga.

Pada masa Jahiliah, Sa’ad bekerja sebagai pembuat panah dan menjualnya. Pekerjaannya ini membuat ia pandai memainkan panah dan menunggang kuda. Terdengarlah sebuah kabar mengenai dakwah Rasulullah untuk masuk Islam olehnya. Dengan sopan, ia menemui Rasulullah di sebuah jalanan pengunungan, kemudian segera mengumumkan keislamannya dan berpegang teguh dengan agama barunya itu. Ketika kaum Quraisy menindas umat Islam di Mekah, dan Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk hijrah ke Habsyi, ia tetap tinggal bersama Rasulullah, mengalami penindasan dan pemaksaan dari para kafir Quraisy, seperti umat Islam lainnya. Ia juga merasakan kelaparan dan kehausan seperti Rasulullah ketika mereka dikepung di daerah pegunungan Mekah oleh Quraisy.

Sa’ad menyaksikan semua pemandangan itu bersama Rasulullah. Ia pun bergabubg dengan tentara dan ikut berperang, bahkan ia menjadi komandan dalam beberapa perang itu. Ia berjuang dengan sangat gigih dalam perang Badar, dan bertempur dengan penuh kepahitan dalam perang Uhud. Setiap kali ia melemparkan panahnya, ia berseru, “Ya Allah, Goncangkanlah kaki mereka, dan gentarkanlah hati mereka!” sementara itu, Rasulullah berdo’a, “Ya Allah, kabulkanlah apa yang dikatakan oleh Sa’ad!” Sa’ad pun berperang dengan penuh semangat pada perang Uhud yang merupakan ujian yang berat itu, karena setiap satu hari, ia melemparkan lebih dari seribu panah. Sa’ad adalah salah seorang sahabat yang menjaga dan membela Rasulullah. Ia selalu berdiri di depan Rasulullah, menghujani kafir Quraisy dengan panahnya, sedangkan Rasulullahlah yang memberinya panah. Rasulullah pun berseru kepadanya, “Lemparkan panahmu demi membebaskan ayah dan ibumu, sahabat!"

Sa’ad berperilaku baik seperti perilaku Rasulullah. Ia selalu berbicara dengan Rasulullah karena mereka sangat dekat. Sa’ad pun melatih dirinya untuk dapat mengikuti jejak Rasulullah sampai ketika Rsulullah wafat, ia telah menjadi sahabat Rasulullah yang paling taat. Anas bin Malik menceritakan tentang dia, “Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah, tiba-tiba beliau berkata, ‘Sekarang ini, telah datang seorang dari penghuni syurga,’ kemudian Sa’ad bin Abi Waqqash muncul di hadapan kami.”

Abu Bakar RA. telah memilihnya sebagai ‘amil di Hawazan. Ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah, kabar yang menggelisahkan mengenai persiapan perang Persia datang kepadanya. Orang-orang Persia itu ingin mengusir umat Islam dari Iraq. Umar pun segera mengutus tentaranya untuk menyerukan jihad. Mereka membawa seluruh rakyat yang mampu berperang ke Madinah, maka berkumpullah suatu pasukan yang besar di kota itu. Jumlah mereka sekitar 6000-7000 tentara. Kemudian, Khalifah menyatakan bahwa dirinya sendiri yang akan memimpin pasukan itu. Tetapi umat Islam berunding dengannya untuk memilih salah seorang sahabat sebagai pemimpin pasukan itu. setelah itu, Umar mengundang Sa’ad. Ketika ia telah sampai di hadapannya, Umar menyerahkan kepemimpinan pasukan itu kepadanya.

Sa’ad, sang komandan, keluar bersama pasukannya ke Rubu’, Iraq, untuk menghancurkan kekaisaran Persia. Meskipun tentaranya sedikit, tetapi mereka beriman kuat dan mereka seperti gunung yang tinggi. Mereka memenuhi hati mereka dengan iman kepada Allah, karena hanya Allahlah yang mampu memberikan kemenangan kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Pada saat itu, Allah tidak menghendaki Sa’ad turut serta dalam perang dan dapat melemparkan panahnya. Hal itu sikarenakan ia sakit dan tidak mampu menunggang kudanya. Tetapi ia tetap memimpin perang yang dahsyat itu meskipun ia duduk di atas punggung kuda dan wajahnya ada di atas pelananya. Ia menjadikan salah seorang prajurit sebagai penghubung antara ia dan pasukannya.

Umat Islam berperang dengan dahsyat sampai akhirnya mereka memperoleh kemenangan. Meskipun medan perang telah penuh dengan para tentara Persia dan para mujahid muslim yang telah gugur, Sa’ad tetap tidak merasa puas, bahkan ia segera mengusir orang-orang Persia yang masih tersisa, dan menduduki daerah Babilonia dan beberapa kotanya, serta menyatukan Iraq dan beberapa negara bagian Persia dengan negara Islam. Ia pun menguasai harta rampasan perang yang tak terhitung nilainya.

Khalifah Umar selalu keluar ke kota setiap hari. Hal ini ia lakukan pada sore hari, dan bertujuan untuk mengetahui segala cerita dan pandangan umat Islam. Sementara itu, ia selalu berdo’a memohon kemenangan bagi pasukan Sa’ad. Dari hal ini, ada sebuah cerita yang unik. Pada suatu hari, Umar sedang duduk seperti biasa. Tiba-tiba, seorang laki-laki lewat dengan tergesa-gesa. Pada saat itu, Umar hanay ingin menemui laki-laki itu dan menanyakan tentang Sa’ad, tetapi laki-laki itu berjalan dengan tergesa-gesa menuju madinah. Umar pun mengikutinya sampai masuk ke Madinah. Kemudian, orang-orang berdiri dan memberi salam kepada khalifah. Ketika laki-laki itu melihat keadaan tesebut, ia lalu menoleh kepada khalifah dan bertanya dengan lirih, “Kenapa Anda tidak memberitahuku, Tuan?” Umar menjawab, “Tidak apa-apa, saudaraku.” Kemudian kahalifah menerima buku Sa’ad dan membacanya di depan mimbar masjid, yang berbunyi, “… Allah telah memenangkan kita atas orang-orang Persia setelah melalui perang yang pahit dan goncangan yang dahsyat…” uamt Islam pun bertahlil dan bertakbir dengan gembira karena berita kemenangan itu.

Sa’ad sangat menyayangi pasukannya, seperti seorang ibu menyayangi anak-anaknya, maka meraka juga membalas kasih sayangnya itu. Mereka pun selalu patuh padanya. Peperangannya di Iraq berpengaruh terhadap ketakjuban para teman seusianya dan umat Islam pada waktu itu. Mereka pun menjulukinya dengan ‘pahlawan Islam’. Ia telah masuk Islam pada usia 19 tahun. Menurut umat Islam perjalanan hidupnya adalah sebagai seorang panglima yang adil dan setia. Ketika maut menjemputnya, ia meminta kepada nak-anaknya untuk membawakan jubah bulu dari domba yang ia buru ketika perang Badar. Mereka pun segera membawakannya jubah itu. Setelah itu, ia meminta anak-anaknya untuk mengkafaninya dengan jubah tersebut. Kemudian, ia berpulang ke hadapan-Nya pada tahun 55 H, pada usia 72 tahun.

Inilah wafatnya sahabat terakhir yang merupakan salah seorang dari sepuluh sahabat yang masuk syurga.

nilai-nilai Al -Qurâan Untuk Persaudaraan Antar umat Beragama

0 comments

Pelbagai upaya dunia untuk memojokkan Islam terus bergulir. Isu terorisme internasional misalnya, kini terarah pada kaum muslimin dan dampaknya sangat terasa oleh umat Islam seluruh dunia. Islam dalam perspektif media massa Barat kini telah dijadikan simbol terorisme. Memang banyak media massa Barat yang berpikir jernih menolak stigmatisasi Islam terorisme itu. Tapi, media massa yang jujur di Barat saat ini kalah pengaruhnya dibanding media massa yang bias dan manipulatif.

Untuk itulah, kita sebagai umat Islam perlu berpikir jauh ke depan, khususnya mengcounter stigmatisasi terorisme itu dengan mengemukakan dalih-dalih yang naqli sekaligus aqli. Benarkah Al-Qurâan seperti dikatakan sejumlah pengamat Barat – ikut memprovokasi terorisme? Jika tidak, kenapa umat Islam – lagi-lagi menurut sejumlah pengamat Barat – banyak mendalangi terorisme? Barangkali, masalah ini perlu mendapat klarifikasi umat Islam sendiri – khususnya yang berkaitan dengan sumber ajaran pokok Islam, yaitu Al-Qur’an.

Tentu saja, semua orang tahu bahwa pandangan Barat terhadap Islam yang dituduh memprovokasi terorisme sangat menyimpang. Pandangan tersebut sebetulnya stereotip Barat yang disetir kalangan-kalangan tertentu yang anti-Islam. Faktanya, terorisme tidak identik sama sekali dengan Islam. Bahkan aksi terorisme terbanyak justru terjadi di daratan benua Amerika – baik Utara maupun Selatan. Sejumlah pengamat Barat yang kritis seperti Prof. Noam Chomsky dari MIT menyatakan, istilah terorisme itu sendiri muncul di Barat. Dan kenapa muncul di Barat. Karena perilaku terorisme memang berasal dari Barat – bukan dari Timur, apalagi Islam.

Namun demikian, karena politik internasional milenium ketiga sudah teragendakan untuk mengutuk terorisme yang kebetulan, konon – pelaku utama terorisme dunia yang diawali peristiwa sangat fantastis, penghancuran gedung WTC New York, 11 September 2001 dengan menabrakkan dua pesawat penumpang Boeing 747 – adalah orang Islam, maka tertuduh utama terorisme adalah umat Islam. Tuduhan terhadap umat Islam sebagai teroris itu makin kuat lagi setelah peledakan bom di Legian, Bali, 12 Oktober 2002 dengan tertuduh Amrozi, Imam Samudra, dan kawan-kawan, yang lagi-lagi, berasal dari kaum muslimin. Kedua fakta tak terbantah tersebut – disamping fakta-fakta lain – menjadikan Islam di mata internasional, khususnya media massa Barat akrab dan mendukung terorisme. Barangkali, inilah bias terbesar sepanjang zaman yang kini tertimpakan pada umat Islam.
Melihat fakta inilah, banyak kalangan mulai mempertanyakan, kenapa "Islam" akrab dengan terorisme. Jika demikian, "keakraban" itu niscaya erat kaitannya dengan sumber pedoman umat Islam, yaitu Al-Qur’an. Dari sinilah kita perlu mengambil pijakan untuk menunjukkan bahwa terorisme sangat jauh dengan Islam, bahkan bertentangan secara diametral dengan ajaran-ajaran Al-Qur’an.
Pertama-tama, untuk mengetahui apa itu agama Islam, orang seharusnya mengetahui dulu akar kata Islam dan turunannya (salam, muslim, salim, dan lain-lain) yang semuanya mengandung makna: kedamaian, keselamatan, ketundukan, kepasrahan, keharmonisan, dan kesesuaian dengan hukum-hukum alam. Dilihat dari kata Islam dan turunannya itulah, tak pelak lagi Islam sebetulnya merupakan "kata generik" untuk menunjukkan sifat-sifat mulia manusia yang suka damai, hidup sejalan dengan hukum alam, harmoni, dan tunduk pada peraturan Tuhan. Lawan dari kata Islam adalah kafir, yang menunjukkan sifat-sifat manusia yang sombong, iri hati, merasa paling benar, dan tidak taat kepada Allah. Dengan melihat kata Islam yang generik itu, rasanya sulit sekali orang menemukan terminologi kekerasan dalam Islam, apalagi terorisme.
Apa yang menarik dari kata Islam dan Al-Islam dalam Qur’an? Kalau kita telusuri lebih jauh, kata Islam dalam Qur’an sifatnya sangat umum, tidak hanya dipakai untuk menyebut nama "umat Muhammad" – tapi juga umat Musa (Yahudi) dan umat Kristen (Nashrani). Nabi Ya’kub, misalnya, sebelum meninggal bertanya kepada anak-anaknya, apa yang akan kamu sembah sepeninggalku (QS2:133)?. Anak-anaknya menjawab: Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il, dan Ishak, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan kami semua adalah muslimun (tunduk dan patuh pada Tuhan). Dalam ayat-ayat lain juga disebutkan, kaum hawariyyun (murid-murid dan sahabat Isa) adalah muslim (QS3:52). Begitu pula Musa – Rasul orang Yahudi -- menyatakan dirinya sebagai seorang muslim. Dalam surah Yunus ayat 84 dikisahkan tentang Musa yang sedang berkata-kata dengan umatnya. ‘’Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertakwalah kepadaNya saja jika kamu benar-benar orang muslim". Bahkan lebih jauh lagi, dalam ayat lain, disebutkan sesungguhnya seluruh alam ini "berislam" kepada Tuhan. Membaca ayat-ayat tersebut, bisa disimpulkan kata Islam sebetulnya sangat general – mencakup seluruh agama yang Berketuhanan Yang Maha Esa (tauhid).
Dari sinilah sebetulnya, kalau umat beragama dunia mau berlapang hati dan mau memahami Islam dalam konteks yang esensial, tak akan ditemukan setitik pandangan eksklusivisme dalam Islam yang bisa menimbulkan kecurigaan pada umat-umat lain. Dari verikasi kata Islam dalam Alqur’an inilah, kita perlu membedah kembali makna ayat yang sering dijadikan propaganda kalangan tertentu demi kepentingan politiknya dengan mengatasnamakan Islam. Dari perspektif inilah, kita mereinterpretasi kalimat dalam Al-Qur’an: "Innaddina ‘indallahi’il Islam. Sesungguhnya agama di sisi Tuhan adalah Islam. Kalimat seperti ini, lazimnya diterjemahkan seperti ini: sesungguhnya agama di sisi Tuhan adalah ketundukan dan kepasrahan terhadap Tuhan (al-Islam) Bila demikian halnya, maka ketundukan dan kepasrahan terhadap Tuhan adalah pedoman ajaran untuk semua agama. Ini artinya, ayat tersebut sangat unversal dan bisa menjamin toleransi yang amat luas bagi umat beragama. Itu pula sebabnya, mengapa Allah menyatakan bahwa Islam adalah rahmat bagi alam semesta. Kenapa rahmat? Karena Islam mampu mengayomi dan mengakomodasi semua ajaran agama, asal secara prinsip beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara gamblang dalam surah Al-Baqarah ayat 62, Allah menyatakan: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, baik orang Yahudi, Nashrani, dan orang Syabi’in (agama selain Islam, Kristen, dan Yahudi) -- siapa saja yang benar-benar beriman kepada Allah dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka.
Ayat inilah yang di zaman Nabi Muhammad dan awal keislaman menjadi pedoman kaum salaf. Dengan dasar ayat-ayat Qur’an tersebut, kemudian Islam menyebar dengan cepat ke seantero dunia – termasuk Eropa yang saat itu masih dikuasai orang-orang Romawi. Sejarawan George Bernard Shaw misalnya mencatat: banyak orang di Eropa saat itu menyambut kedatangan Islam dan mendukung tentara Islam ketimbang tentara Romawi yang notabene merupakan tentara negaranya. Kenapa? Tulis Shaw: Islam datang untuk menegakkan perdamaian dan keadilan. Itulah yang ditunggu umat Nashrani saat itu yang berada dalam cengkerman fasis dan totaliter Kerajaan Romawi.
Sikap Islam yang sangat peduli dengan penegakan kemanusiaan dan keadilan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan di hadapan Tuhan inilah yang telah membesarkan Islam di masa kejayaannya. Islam dan Qur’an saat itu benar-benar menjadi petunjuk umat manusia yang ingin membina persaudaraan antarumat beragama. Dan Al-Qur’an menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, beretnis dan berbangsa-bangsa, semata-mata untuk menguji kualitas siapa yang paling bertakwa. Dan yang paling mulia di sisi Tuhan adalah orang yang paling bertakwa diantara mereka (QS 49:13). Ini artinya, kata taqwa – sebuah ketundukan pada Allah yang terefleksikan dalam penegakan keadilan, kemanusian, persamaan hak, dan persaudaraan – menjadi ukuran keberimanan seseorang di sisi Tuhan. Dari perspekif tersebut, Islam sebetulnya jauh dengan makna terorisme, anarkisme, dan perbuatan keras lain. Islam adalah kedamaian, keselamatan, dan persaudaraan. Dan harap dicatat: kata yang menjadi pusat – titik tengah dalam Al-Qur’an yang tertera pada surah Al-Kahfi adalah kata " Walyatalattaf" yang artinya kelembutan. Allah itu Maha Lembut (Latif). Oleh Syaefudin Simon

(Penulis adalah pengamat sosial keagamaan)

diposting dari berbagai sumber