Monday, November 10, 2008

nilai-nilai Al -Qurâan Untuk Persaudaraan Antar umat Beragama

Pelbagai upaya dunia untuk memojokkan Islam terus bergulir. Isu terorisme internasional misalnya, kini terarah pada kaum muslimin dan dampaknya sangat terasa oleh umat Islam seluruh dunia. Islam dalam perspektif media massa Barat kini telah dijadikan simbol terorisme. Memang banyak media massa Barat yang berpikir jernih menolak stigmatisasi Islam terorisme itu. Tapi, media massa yang jujur di Barat saat ini kalah pengaruhnya dibanding media massa yang bias dan manipulatif.

Untuk itulah, kita sebagai umat Islam perlu berpikir jauh ke depan, khususnya mengcounter stigmatisasi terorisme itu dengan mengemukakan dalih-dalih yang naqli sekaligus aqli. Benarkah Al-Qurâan seperti dikatakan sejumlah pengamat Barat – ikut memprovokasi terorisme? Jika tidak, kenapa umat Islam – lagi-lagi menurut sejumlah pengamat Barat – banyak mendalangi terorisme? Barangkali, masalah ini perlu mendapat klarifikasi umat Islam sendiri – khususnya yang berkaitan dengan sumber ajaran pokok Islam, yaitu Al-Qur’an.

Tentu saja, semua orang tahu bahwa pandangan Barat terhadap Islam yang dituduh memprovokasi terorisme sangat menyimpang. Pandangan tersebut sebetulnya stereotip Barat yang disetir kalangan-kalangan tertentu yang anti-Islam. Faktanya, terorisme tidak identik sama sekali dengan Islam. Bahkan aksi terorisme terbanyak justru terjadi di daratan benua Amerika – baik Utara maupun Selatan. Sejumlah pengamat Barat yang kritis seperti Prof. Noam Chomsky dari MIT menyatakan, istilah terorisme itu sendiri muncul di Barat. Dan kenapa muncul di Barat. Karena perilaku terorisme memang berasal dari Barat – bukan dari Timur, apalagi Islam.

Namun demikian, karena politik internasional milenium ketiga sudah teragendakan untuk mengutuk terorisme yang kebetulan, konon – pelaku utama terorisme dunia yang diawali peristiwa sangat fantastis, penghancuran gedung WTC New York, 11 September 2001 dengan menabrakkan dua pesawat penumpang Boeing 747 – adalah orang Islam, maka tertuduh utama terorisme adalah umat Islam. Tuduhan terhadap umat Islam sebagai teroris itu makin kuat lagi setelah peledakan bom di Legian, Bali, 12 Oktober 2002 dengan tertuduh Amrozi, Imam Samudra, dan kawan-kawan, yang lagi-lagi, berasal dari kaum muslimin. Kedua fakta tak terbantah tersebut – disamping fakta-fakta lain – menjadikan Islam di mata internasional, khususnya media massa Barat akrab dan mendukung terorisme. Barangkali, inilah bias terbesar sepanjang zaman yang kini tertimpakan pada umat Islam.
Melihat fakta inilah, banyak kalangan mulai mempertanyakan, kenapa "Islam" akrab dengan terorisme. Jika demikian, "keakraban" itu niscaya erat kaitannya dengan sumber pedoman umat Islam, yaitu Al-Qur’an. Dari sinilah kita perlu mengambil pijakan untuk menunjukkan bahwa terorisme sangat jauh dengan Islam, bahkan bertentangan secara diametral dengan ajaran-ajaran Al-Qur’an.
Pertama-tama, untuk mengetahui apa itu agama Islam, orang seharusnya mengetahui dulu akar kata Islam dan turunannya (salam, muslim, salim, dan lain-lain) yang semuanya mengandung makna: kedamaian, keselamatan, ketundukan, kepasrahan, keharmonisan, dan kesesuaian dengan hukum-hukum alam. Dilihat dari kata Islam dan turunannya itulah, tak pelak lagi Islam sebetulnya merupakan "kata generik" untuk menunjukkan sifat-sifat mulia manusia yang suka damai, hidup sejalan dengan hukum alam, harmoni, dan tunduk pada peraturan Tuhan. Lawan dari kata Islam adalah kafir, yang menunjukkan sifat-sifat manusia yang sombong, iri hati, merasa paling benar, dan tidak taat kepada Allah. Dengan melihat kata Islam yang generik itu, rasanya sulit sekali orang menemukan terminologi kekerasan dalam Islam, apalagi terorisme.
Apa yang menarik dari kata Islam dan Al-Islam dalam Qur’an? Kalau kita telusuri lebih jauh, kata Islam dalam Qur’an sifatnya sangat umum, tidak hanya dipakai untuk menyebut nama "umat Muhammad" – tapi juga umat Musa (Yahudi) dan umat Kristen (Nashrani). Nabi Ya’kub, misalnya, sebelum meninggal bertanya kepada anak-anaknya, apa yang akan kamu sembah sepeninggalku (QS2:133)?. Anak-anaknya menjawab: Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il, dan Ishak, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan kami semua adalah muslimun (tunduk dan patuh pada Tuhan). Dalam ayat-ayat lain juga disebutkan, kaum hawariyyun (murid-murid dan sahabat Isa) adalah muslim (QS3:52). Begitu pula Musa – Rasul orang Yahudi -- menyatakan dirinya sebagai seorang muslim. Dalam surah Yunus ayat 84 dikisahkan tentang Musa yang sedang berkata-kata dengan umatnya. ‘’Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertakwalah kepadaNya saja jika kamu benar-benar orang muslim". Bahkan lebih jauh lagi, dalam ayat lain, disebutkan sesungguhnya seluruh alam ini "berislam" kepada Tuhan. Membaca ayat-ayat tersebut, bisa disimpulkan kata Islam sebetulnya sangat general – mencakup seluruh agama yang Berketuhanan Yang Maha Esa (tauhid).
Dari sinilah sebetulnya, kalau umat beragama dunia mau berlapang hati dan mau memahami Islam dalam konteks yang esensial, tak akan ditemukan setitik pandangan eksklusivisme dalam Islam yang bisa menimbulkan kecurigaan pada umat-umat lain. Dari verikasi kata Islam dalam Alqur’an inilah, kita perlu membedah kembali makna ayat yang sering dijadikan propaganda kalangan tertentu demi kepentingan politiknya dengan mengatasnamakan Islam. Dari perspektif inilah, kita mereinterpretasi kalimat dalam Al-Qur’an: "Innaddina ‘indallahi’il Islam. Sesungguhnya agama di sisi Tuhan adalah Islam. Kalimat seperti ini, lazimnya diterjemahkan seperti ini: sesungguhnya agama di sisi Tuhan adalah ketundukan dan kepasrahan terhadap Tuhan (al-Islam) Bila demikian halnya, maka ketundukan dan kepasrahan terhadap Tuhan adalah pedoman ajaran untuk semua agama. Ini artinya, ayat tersebut sangat unversal dan bisa menjamin toleransi yang amat luas bagi umat beragama. Itu pula sebabnya, mengapa Allah menyatakan bahwa Islam adalah rahmat bagi alam semesta. Kenapa rahmat? Karena Islam mampu mengayomi dan mengakomodasi semua ajaran agama, asal secara prinsip beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara gamblang dalam surah Al-Baqarah ayat 62, Allah menyatakan: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, baik orang Yahudi, Nashrani, dan orang Syabi’in (agama selain Islam, Kristen, dan Yahudi) -- siapa saja yang benar-benar beriman kepada Allah dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka.
Ayat inilah yang di zaman Nabi Muhammad dan awal keislaman menjadi pedoman kaum salaf. Dengan dasar ayat-ayat Qur’an tersebut, kemudian Islam menyebar dengan cepat ke seantero dunia – termasuk Eropa yang saat itu masih dikuasai orang-orang Romawi. Sejarawan George Bernard Shaw misalnya mencatat: banyak orang di Eropa saat itu menyambut kedatangan Islam dan mendukung tentara Islam ketimbang tentara Romawi yang notabene merupakan tentara negaranya. Kenapa? Tulis Shaw: Islam datang untuk menegakkan perdamaian dan keadilan. Itulah yang ditunggu umat Nashrani saat itu yang berada dalam cengkerman fasis dan totaliter Kerajaan Romawi.
Sikap Islam yang sangat peduli dengan penegakan kemanusiaan dan keadilan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan di hadapan Tuhan inilah yang telah membesarkan Islam di masa kejayaannya. Islam dan Qur’an saat itu benar-benar menjadi petunjuk umat manusia yang ingin membina persaudaraan antarumat beragama. Dan Al-Qur’an menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, beretnis dan berbangsa-bangsa, semata-mata untuk menguji kualitas siapa yang paling bertakwa. Dan yang paling mulia di sisi Tuhan adalah orang yang paling bertakwa diantara mereka (QS 49:13). Ini artinya, kata taqwa – sebuah ketundukan pada Allah yang terefleksikan dalam penegakan keadilan, kemanusian, persamaan hak, dan persaudaraan – menjadi ukuran keberimanan seseorang di sisi Tuhan. Dari perspekif tersebut, Islam sebetulnya jauh dengan makna terorisme, anarkisme, dan perbuatan keras lain. Islam adalah kedamaian, keselamatan, dan persaudaraan. Dan harap dicatat: kata yang menjadi pusat – titik tengah dalam Al-Qur’an yang tertera pada surah Al-Kahfi adalah kata " Walyatalattaf" yang artinya kelembutan. Allah itu Maha Lembut (Latif). Oleh Syaefudin Simon

(Penulis adalah pengamat sosial keagamaan)

diposting dari berbagai sumber

Related post



  • Stumble This
  • Fav This With Technorati
  • Add To Del.icio.us
  • Digg This
  • Add To Facebook
  • Add To Yahoo

0 comments:

Post a Comment